Upaya Menekan Angka Stunting di Tengah Pemotongan Dana Transfer Daerah, Ini Langkah, Wakil Gubernur Kaltim

Samarinda – Upaya mengatasi stunting masih menjadi tugas penting dan mendesak bagi Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim).

Pasalnya, target penurunan stunting yang ditetapkan secara nasional adalah 18,8%, tetapi banyak wilayah di Kaltim yang angka stuntingnya masih berada di atas ambang batas tersebut.

Berdasarkan penuturan Kepala Dinas Kesehatan Kaltim, Jaya Mualimin, tercatat enam Kabupaten/Kota di Kaltim yang tingkat prevalensi stuntingnya belum memenuhi standar nasional.

“Daerah tersebut di antaranya adalah Paser, PPU, Balikpapan, lalu Kutai Barat, Berau, dan Kutai Timur. Totalnya ada enam wilayah,” ujar Jaya usai menghadiri Rapat Koordinasi Penurunan Stunting di Kantor Gubernur Kaltim, pada Selasa (18/11/2025).

Kekhawatiran ini semakin bertambah melihat kondisi keuangan daerah Kaltim yang sedang tidak sehat akibat dipangkasnya dana Transfer ke Daerah (TKD).

Situasi ini mendorong para pembuat kebijakan untuk mengatur ulang skala prioritas program-program yang dinilai kurang krusial.

Menjawab kekhawatiran tersebut, Jaya menegaskan bahwa program penurunan stunting di Kaltim merupakan agenda prioritas Gubernur, sehingga pemotongan TKD tidak akan menghentikan upaya penanganan stunting.

“Ini adalah program andalan pak Gubernur, sehingga kami akan terus melaksanakan pengawasan, koordinasi, serta berbagai kegiatan lain yang fokus pada penurunan angka stunting,” jelasnya.

“Layaknya program gratispol, atau layanan kesehatan gratis, anggarannya pasti tidak akan dikurangi. Masyarakat tidak perlu khawatir,” tambahnya menegaskan.

Di sisi lain, Wakil Gubernur Kaltim yang juga menjabat sebagai Ketua Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS), Seno Aji, mengungkapkan dua strategi kunci untuk menekan angka stunting di Kaltim.

“Strategi pertama adalah intervensi spesifik, yang berfokus pada sektor kesehatan seperti pemenuhan gizi bagi ibu hamil, remaja putri, pemberian ASI eksklusif, imunisasi, serta penanganan kasus gizi buruk,” papar Seno.

“Selanjutnya adalah intervensi sensitif, yang mencakup penyediaan akses air bersih dan sanitasi, pendidikan tentang ketahanan pangan, jaring pengaman sosial, serta penciptaan lingkungan yang sehat,” tutup Seno.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top