Penyerapan Anggaran Kaltim 2025 Baru 56 Persen

SAMARINDA — Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan per 1 November 2025, realisasi belanja Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim) baru menyentuh angka Rp11,9 triliun dari total pagu APBD 2025 sebesar Rp20,9 triliun.

Dengan demikian, masih terdapat sisa dana publik sekitar Rp9 triliun atau setara dengan 43 persen yang belum dapat disalurkan.

Secara presentase, capaian penyerapan anggaran tersebut baru sebesar 56,94 persen.

Padahal, waktu yang tersisa untuk menyerap anggaran ini tinggal kurang dari dua bulan, mengingat penutupan buku akan dilakukan pada 25 Desember 2025.

Secara lebih terperinci, untuk belanja pegawai yang memiliki pagu Rp3,7 triliun, realisasinya baru Rp2,4 triliun atau 66,36 persen.

Belanja barang dan jasa dengan pagu Rp4,91 triliun, baru terpakai sebesar Rp2,68 triliun atau 54,54 persen.

Belanja modal, yang merupakan komponen kunci untuk pembangunan fisik, justru mencatat realisasi terendah, yaitu hanya Rp1,68 triliun dari pagu Rp4,6 triliun atau 36,19 persen.

Sementara itu, realisasi untuk pos belanja lain-lain adalah Rp5,1 triliun dari Rp7,61 triliun (67,17 persen), belanja bagi hasil Rp2,9 triliun dari Rp4,6 triliun (63,75 persen), dan bantuan keuangan Rp1,6 triliun dari Rp2 triliun (78,61 persen).

Namun, untuk belanja subsidi dan belanja tidak terduga, realisasinya masih nihil atau sama sekali belum tersentuh sepanjang tahun berjalan.

Adapun untuk hibah dan bantuan sosial, realisasinya masing-masing telah mencapai Rp506 miliar dari pagu Rp695 miliar (72,75 persen) dan Rp22 miliar dari pagu Rp27 miliar (81,74 persen).

Pengamat: Koordinasi Pemprov Lemah dan DPRD Abai

Pengamat politik Universitas Mulawarman, Saiful Bachtiar, menyoroti kondisi ini sebagai gambaran buruknya tata kelola pemerintahan di daerah.

Ia menduga hal ini disebabkan oleh lemahnya koordinasi antara Gubernur, Wakil Gubernur, Sekretaris Daerah, dan para pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD).

“Jika penyerapan di bawah 60 persen, itu perlu dijelaskan secara terbuka dan transparan oleh Gubernur dan Wakil Gubernur. Pihak paling bertanggung jawab adalah mereka dan Sekda. Tapi DPRD juga tidak bisa lepas tangan,” ujar Saiful saat diwawancarai di kampus Unmul, Kamis (30/10/2025).

Ia menilai, fungsi check and balance antara lembaga eksekutif dan legislatif di daerah tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Padahal, DPRD memiliki tugas dan wewenang yang sangat penting dalam hal pengawasan, legislasi, dan penganggaran.

“Seandainya DPRD menjalankan fungsi pengawasannya dengan baik, seharusnya di pertengahan tahun mereka sudah menyadari lambatnya penyerapan anggaran. Namun kenyataannya, di bulan November ini baru 56 persen. Ini menunjukkan bahwa DPRD juga lalai,” tegasnya.

Rendahnya Serapan Sama dengan Hilangnya Manfaat Publik

Kondisi ini, lanjut Saiful, pada akhirnya secara langsung akan merugikan kepentingan masyarakat.

Dana publik yang seharusnya dialokasikan untuk membangun sekolah, merehabilitasi rumah sakit, atau membangun jalan dan jembatan, justru mengendap di kas daerah tanpa memberikan manfaat.

“Masyarakatlah yang dirugikan. Semestinya manfaat dari APBD itu sudah dapat dinikmati, namun akibat ketidakprofesionalan pemerintah provinsi dan lemahnya pengawasan DPRD, manfaat tersebut hilang,” katanya.

Menurut Saiful, situasi semacam ini tidak boleh dianggap remeh.

Ia mengingatkan bahwa Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan berwenang memberikan sanksi administratif kepada Pemprov Kaltim atas kegagalan dalam menyerap anggaran ini.

“Jika dinilai tidak mampu, konsekuensinya bisa serius. Pemerintah pusat berpotensi memotong alokasi anggaran untuk tahun berikutnya. Jadi ini bukan hanya persoalan teknis, melainkan juga menyangkut kredibilitas daerah di mata pusat,” ujarnya.

Sekda dan OPD Tidak Boleh Berpangku Tangan

Saiful berpendapat, dalam sebuah birokrasi yang sehat, Sekretaris Daerah (Sekda) harus menjadi pengendali utama dalam pelaksanaan anggaran, terlepas dari kondisi politik yang ada.

“ASN itu harus profesional. Pergantian gubernur seharusnya tidak mempengaruhi kinerja birokrasi. Jika ternyata ada OPD yang tidak bergerak karena menunggu perintah politik, itu adalah pertanda bahwa birokrasi kita sedang sakit,” tegasnya.

Ia juga menyebutkan adanya kemungkinan intervensi politik yang membuat beberapa OPD ragu-ragu dalam menjalankan programnya.

“Jika memang ada tekanan dari pihak tertentu untuk menunda kegiatan, OPD harus berani bersuara. Jika tidak ada, maka ini murni adalah kesalahan manajemen dan bukti ketidakprofesionalan mereka sendiri,” tambahnya.

Keterlambatan penyerapan anggaran bukan sekadar persoalan administratif, melainkan juga indikator kegagalan dalam tata kelola pemerintahan.

“Jika setiap tahun penyerapan anggaran rendah, itu artinya proses perencanaan kita lemah, koordinasi buruk, dan fungsi pengawasan DPRD tidak berjalan. Dampaknya langsung terasa oleh masyarakat, dari proyek yang tertunda hingga layanan publik yang terhambat,” jelas Saiful.

Ia menutup dengan peringatan, bahwa jika kondisi ini terus berulang, maka kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah akan semakin menipis.

“Anggaran bukan hanya sekadar angka di atas kertas. Itu adalah hak publik yang semestinya dikembalikan kepada masyarakat dalam wujud layanan dan pembangunan. Jika Rp9 triliun tidak terserap, itu artinya ada Rp9 triliun manfaat yang hilang dari rakyat Kaltim,” tutupnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top